Nazli

Ketika Lahan Negara Jadi Komoditas Elit: Skandal Deli Megapolitan dan Krisis Integritas di Tubuh BUMN

Posted on 2025-11-02 11:32:57 dibaca 36 kali

Oleh: Nazli.

Di atas tanah negara yang seharusnya ditanami sawit dan menyerap tenaga kerja rakyat, kini berdiri kompleks mewah dan properti elit. Nama proyeknya menggoda “Deli Megapolitan Citraland” hasil kolaborasi antara PTPN dan grup Ciputra. Namun di balik plang proyek dan jargon “kerjasama strategis” itu, terbentang ironi besar: aset negara dijadikan komoditas elit, dan BUMN berubah fungsi menjadi calo tanah.

Berita yang beredar menunjukkan bahwa proyek ini bukan sekadar kerja sama bisnis, melainkan potret penyimpangan sistemik dalam pengelolaan aset negara. Lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN yang semestinya digunakan untuk produksi perkebunan dialihkan untuk kepentingan properti swasta. Lebih memalukan lagi, proyek yang sempat ditolak oleh manajemen lama karena tak sesuai mandat perusahaan, justru dihidupkan kembali oleh manajemen baru, seolah fungsi utama PTPN bukan lagi berkebun, melainkan berbisnis properti.

Padahal, mandat hukum dan moral BUMN adalah mengelola aset publik untuk kepentingan rakyat dan negara, bukan untuk memperkaya segelintir pejabat dan konglomerat. Tetapi dalam kasus ini, justru muncul dugaan bahwa pejabat internal ikut “mengawal” proyek agar tidak mencuat ke publik. Bahasa halusnya “koordinasi”, tetapi maknanya bisa jadi “pengamanan”.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin mempertegas kejanggalan itu. Laporan BPK mencatat, hingga akhir 2023, perusahaan patungan (PUP) hasil kerjasama dengan Ciputra belum menyusun Rencana Kinerja Tahunan (RKT) maupun laporan berkala. Artinya, miliaran rupiah aset negara telah dikelola tanpa kontrol, tanpa laporan, dan tanpa akuntabilitas. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi indikasi pelanggaran serius terhadap tata kelola BUMN.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara kini telah menyita dokumen dan bahkan menerima pengembalian dana Rp150 miliar dari pihak pengembang. Namun publik paham: uang yang dikembalikan tidak otomatis menghapus dosa strukturalnya. Ini bukan sekadar soal angka tapi ini soal pengkhianatan terhadap mandat publik.

Jika lahan HGU dapat berubah menjadi kawasan perumahan tanpa mekanisme hukum dan transparansi, maka kita sedang menyaksikan privatisasi diam-diam terhadap tanah negara. BUMN yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan ekonomi justru menjadi jembatan empuk bagi akumulasi modal swasta. Inilah bentuk neokolonialisme ekonomi gaya baru, di mana tanda tangan pejabat menggantikan bedil penjajah.

Kementerian BUMN dan aparat penegak hukum harus turun tangan secara menyeluruh, bukan sekadar memeriksa pelaksana lapangan. Semua pihak yang menandatangani, menyetujui, atau membiarkan pelanggaran ini harus dimintai pertanggungjawaban, dimulai dari direksi hingga pengawas holding. Karena jika ini dibiarkan, maka pesan yang disampaikan kepada publik jelas: hukum hanya berani kepada yang kecil, tetapi jinak kepada yang besar.

Kasus Deli Megapolitan adalah cermin betapa rapuhnya integritas di tubuh korporasi negara. Di balik slogan “Transformasi BUMN” dan “Good Corporate Governance”, masih bersembunyi praktik lama: kongkalikong antara pejabat birokratis dan kapitalis properti.

Kini, publik menunggu keberanian negara: Apakah hukum akan benar-benar tajam ke atas, atau kembali tumpul di hadapan kerah putih?

Apakah tanah negara akan dikembalikan kepada rakyat, atau terus dijadikan ladang spekulasi kaum elit? Satu hal pasti:

Ketika tanah negara dijual dengan tanda tangan pejabatnya sendiri, maka bangsa ini sedang menggadaikan masa depannya.

Tentang Penulis:

Nazli adalah Pengurus Pusat Sahabat Sawit Garuda Nusantara (SSGN), penulis opini politik, aktivis pengawasan lingkungan  hidup dan tata kelola BUMN. Aktif menulis isu korupsi, reformasi agraria, dan keadilan ekonomi di berbagai media nasional.(**)

Copyright 2025 Arungnews.com

Alamat: Jakarta

Telpon: 081366277488

E-Mail: admin@arungnews.com