Nazli
Oleh: Nazli (Budak Dusun)
KERUSAKAN lingkungan yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat belakangan ini bukanlah bencana alam yang datang tanpa sebab. Longsor, banjir bandang, desa yang hanyut, hingga korban jiwa berjatuhan merupakan akibat dari kejahatan ekologis yang dibiarkan terjadi bertahun-tahun. Keserakahan dan pembiaran telah menjadikan bencana sebagai agenda tahunan.
Yang mengejutkan bukanlah datangnya bencana itu sendiri. Justru yang mengejutkan adalah sikap negara yang seolah terus menutup mata, enggan melihat akar masalah sesungguhnya.
Kerusakan di tiga provinsi tersebut bukan muncul dalam semalam. Ia merupakan hasil dari rangkaian keputusan dan kelalaian yang dilakukan secara sistematis: pejabat yang lebih patuh pada kepentingan investor daripada keselamatan rakyat, aparat yang menonton tambang ilegal tanpa tindakan tegas, dan pemerintah yang lebih sibuk berwacana daripada bekerja menghentikan laju perusakan alam.
Pertanyaannya kini bukan lagi, “Mengapa ini bisa terjadi?”
Tetapi: “Siapa yang sejak awal memberi izin bagi kerusakan itu untuk tumbuh?”
Situasi ini juga menjadi alarm keras bagi Provinsi Jambi. Hampir seluruh wilayah kabupaten di Jambi tidak lagi steril dari kerusakan ekologis. Sungai yang dilucuti hulunya, daerah aliran sungai yang setiap hari terusik, penebangan hutan tanpa henti, serta bukit yang terus dibelah tanpa kendali, menjadi gambaran nyata kondisi yang mengkhawatirkan.
Jika Aceh, Sumut, dan Sumbar runtuh karena ulah manusia, maka Jambi hanya sedang menunggu giliran.
Hujan tidak pernah memberi izin untuk menebang hutan. Sungai tidak pernah mengundang alat berat untuk mengorek hulunya. Bukit tidak pernah menandatangani kontrak untuk dibelah. Pelakunya jelas: mereka yang memberi izin, mereka yang membiarkan, dan mereka yang memperlakukan lingkungan sebagai objek bisnis tanpa konsekuensi.
Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk nyata pengkhianatan terhadap masa depan rakyat.
Indonesia memiliki undang-undang lingkungan, aturan tata ruang, hingga regulasi teknis yang begitu lengkap. Namun semuanya hanya menjadi hiasan rak pajangan ketika mafia lingkungan sulit disentuh hukum, penegakan aturan hanya tajam ke rakyat kecil, dan pemimpin daerah lebih mementingkan citra daripada menjaga alam.
Selama pembiaran masih menjadi kebijakan tak tertulis, bencana hanya menunggu tanggal kejadiannya.
Jika Pemerintah tetap menutup mata, Jambi tidak membutuhkan puluhan tahun untuk jatuh. Cukup satu musim hujan ekstrem, satu banjir bandang dari hulu sungai yang telah botak, dan kehancuran akan datang sebrutal apa yang terjadi di provinsi tetangga.
Alam tidak menegur dengan kata-kata. Alam menegur dengan menghancurkan.
Dan ketika saat itu tiba, bukan pelaku perusakan yang menanggung akibatnya. Bukan pula pejabat yang bernegosiasi di ruang dingin ber-AC atau cukong yang menikmati hasil perusakan. Yang akan membayar harga paling mahal adalah rakyat kecil yang tidak pernah ikut andil dalam merusak lingkungan tempat mereka hidup. (**)