KRISIS EKOLOGIS DI ACEH, SUMUT, DAN SUMBAR: BENCANA YANG KITA CIPTAKAN SENDIRI

Nazli
Nazli

Oleh: Nazli (Budak Dusun)

BANJIR bandang, longsor, dan meluapnya sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan kenyataan yang selama ini dihindari: sebagian besar bencana hidrometeorologis di negeri ini bukanlah peristiwa alamiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Ketika hulu dieksploitasi, DAS dirusak, dan kawasan lindung diubah menjadi area produksi, maka bencana hanyalah konsekuensi logis.

Selama ini, kita terlalu nyaman berlindung di balik narasi “cuaca ekstrem” atau “ini musibah”. Padahal penyebab strukturalnya sudah jelas: deforestasi masif, tata ruang yang longgar, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari tata kelola lingkungan yang gagal.

 

Tutupan Hutan yang Menyusut dan Fungsi Lindung yang Hilang

Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan kawasan dengan topografi sensitif yang sangat bergantung pada stabilitas hutan alam. Namun dalam 5 – 10 tahun terakhir, tutupan hutan di tiga provinsi itu menurun drastis akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan pertambangan. Hilangnya vegetasi penahan air memperbesar limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai, dan membuat lereng semakin rentan longsor.

Ketika fungsi lindung menghilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai kehilangan ruang alirnya. Pada akhirnya masyarakat di hilir menjadi korban keputusan yang tidak mereka buat.

Tumpang Tindih Perizinan dan Pengawasan yang Terlambat

Salah satu sumber masalah terbesar adalah tumpang tindihnya izin lahan. Banyak konsesi diberikan tanpa pertimbangan matang terhadap bentang alam dan kapasitas ekosistem. Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan pada banyak kasus tidak berjalan efektif. Pemerintah sering kali baru hadir setelah rumah-rumah hanyut atau korban berjatuhan.

Pendekatan reaktif semacam ini tidak lagi relevan. Dengan frekuensi bencana yang semakin meningkat, negara harus bergerak sebagai pengelola risiko, bukan sekadar responsor darurat.

Ketika Kepentingan Ekonomi Mengalahkan Kepentingan Ekologis

Dalam sejumlah kasus, kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Hubungan yang terlalu dekat antara pengambil kebijakan dan pemilik modal membuat banyak keputusan strategis kehilangan perspektif ekologis. Akibatnya, kawasan rawan tetap dieksploitasi dan risiko bencana terus meningkat.

Selama kebijakan lingkungan dapat dinegosiasikan, selama itu pula masyarakat akan tetap berada dalam ancaman bencana yang sebenarnya bisa dicegah.

Apa yang Harus Dilakukan?

 

  • Moratorium Izin di Kawasan Rawan

 

Pemerintah perlu memberlakukan moratorium total terhadap izin baru di hulu DAS, lereng curam, dan kawasan rawan bencana. Moratorium harus diikuti audit menyeluruh terhadap konsesi yang sudah berjalan.

 

  • Audit Lingkungan yang Transparan dan Dapat Diakses Publik

 

Semua hasil audit harus dipublikasikan, termasuk siapa yang melanggar, apa pelanggarannya, dan bagaimana tindak lanjut penegakannya. Transparansi adalah fondasi akuntabilitas

. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi

Pelanggaran lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih adalah langkah penting untuk menghentikan budaya pembiaran.

. Rehabilitasi DAS dan Reforestasi Berbasis Sains

Restorasi lingkungan harus dilakukan secara terukur, bukan sekadar seremonial. Prioritasnya meliputi stabilisasi lereng, pemulihan resapan, penguatan bantaran sungai, dan peningkatan tutupan vegetasi.

 . Penataan Ulang Tata Ruang

Tata ruang di ketiga provinsi itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan faktor geologi, hidrologi, dan proyeksi risiko bencana. Kebijakan tata ruang tidak boleh lagi tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek.

 

Penutup

Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah kejadian yang tak terelakkan. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Setiap musim hujan kini menjadi pengingat bahwa kita sedang membayar mahal keputusan yang keliru.

Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada keselamatan warganya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Jika tidak, tragedi yang kita saksikan hari ini akan terus berulang dan sejarah akan mencatat bahwa bencana itu sebenarnya bisa dicegah.(**)

 




Berita Terkait

Monopoli Sriwijaya Air di Nabire Dikeluhkan, Warga Papua Tengah Butuh Alternatif Penerbangan

ARUNGNEWS.COM,PAPUATENGAH- Sejak Bandara Douw Aturure di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah, beroperasi penuh pada ...

Negara Membiarkan Lingkungan Mati Pelan-Pelan

Oleh: Nazli (Budak Dusun) KERUSAKAN lingkungan yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat belakangan ini buk...

Siapa yang Berhak Atas Hasil Tambang PT Freeport?

Oleh : Firmansyah, SH., MH, Pendiri Yayasan Keadilan Hukum (YAKEHU) Papua Tengah PERTANYAAN ini selalu muncul di benak ...

Pengamat Hukum: Penetapan Tersangka Baru DAK SMK Disdik Jambi Jangan Berlarut-Larut

ARUNGNEWS.COM,JAMBI-Pengamat hukum Jambi, Firmansyah, SH, MH, menyoroti belum ditetapkannya tersangka dalam tiga berkas ...

APBD Provinsi Jambi 2026 Disahkan, Tercatat Defisit Rp85 Miliar

ARUNGNEWS.COM,JAMBI-DPRD Provinsi Jambi resmi mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi T...

Firmansyah Dorong Kejari Jambi Ungkap Dugaan Korupsi Lebih Besar di Pasar Angso Duo

ARUNGNEWS.COM, JAMBI-Penanganan dugaan korupsi pajak parkir kendaraan di Pasar Angso Duo terus bergulir. Setelah melakuk...

Ketika Lahan Negara Jadi Komoditas Elit: Skandal Deli Megapolitan dan Krisis Integritas di Tubuh BUMN

Oleh: Nazli. Di atas tanah negara yang seharusnya ditanami sawit dan menyerap tenaga kerja rakyat, kini berdiri komplek...

Zona Merah Pertamina: Alat Tekanan, Bukan Solusi

Oleh : Nazli, Aktivis Senior Jambi KONFLIK antara warga Jambi dengan Pertamina terkait klaim “zona merah” a...

Anggaran Tambahan Stadion Swarnabhumi & Islamic Center: Kemewahan yang Dipaksakan

Oleh: Nazli, Aktivis Senior Jambi POLEMIK penambahan anggaran Rp38 miliar untuk Stadion Swarnabhumi dan Islamic Center ...

Masyarakat Dibohongi dengan Istilah “Dinonaktifkan” Anggota DPR

Oleh: Firmansyah, SH, MH, Pengamat Kebijakan Publik KEPUTUSAN partai politik menggunakan istilah “dinonaktifkan&r...